Jumat, 29 April 2016

PSAK 1 Tahun 2015

Pembahasan PSAK 1 tahun 2015 (Revisi)

PSAK 1 menjelaskan tentang Laporan Keuangan

Dalam psak ini mengatur tentang standarisasi tentang pembuatan laporan keuangan agar tercapai tujuan umum dalam pembuatan laporan keuangan (general purpose financial statements) yang selanjutnya disebut ‘laporan keuangan’ . Tujuan secara umum dimaksudkan agar Laporan Keuangan dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas lain. Pernyataan ini mengatur persyaratan bagi penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, dan persyaratan minimum isi laporan keuangan.

Laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi:

(a) aset;

(b) laibilitas;

(c) ekuitas;

(d) pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan

kerugian;

(e) kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam

kapasitasnya sebagai pemilik;dan

(f) arus kas.

Komponen-komponen yang membentuk laporan keuangan adalah :

(a) laporan posisi keuangan pada akhir periode;

(b) laporan laba rugi komprehensif selama periode

(c) laporan perubahan ekuitas selama periode;

(d) laporan arus kas selama periode;

(e) catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan

kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan

lainnya; dan

(f) laporan posisi keuangan pada awal periode

komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-posdalam laporan keuangannya.



A. Lapoan Posisi Keuangan (Neraca)
Laporan Neraca digunakan untuk mEngetahui posisi keuangan pada periode pelaporan. komponen yang membentuk, antara lain :
a) aset tetap;
(b) properti investasi;
(c) aset tidak berwujud;
(d) aset keuangan;
(e) investasi dengan menggunakan metode ekuitas;
(f) aset biolojik;
(g) persediaan;
(h) piutang dagang dan piutang lainnya;
(i) kas dan setara kas;
(j) total aset yang diklasifikasikan sebagai aset yang
dimiliki untuk dijual dan aset yang termasuk dalam
kelompok lepasan yang diklasifikasikan sebagai yang
dimiliki untuk dijual.
(k) utang dagang dan terutang lainnya;
(l) kewajiban diestimasi;
(m) laibilitas keuangan
(n) laibilitas dan aset untuk pajak masa pelaporan
(o) laibilitas dan aset pajak tangguhan.

B. Laba Rugi Komprehensif
Laba rugi komprehensif adalah menyajikan ikhtisar pendapatan dan beban entitas dalam periode  waktu tertentu baik dari kegiatan operasional maupun non operasional.
Penyajian Laba rugi komprehensif bisa disajikan secara terpisah antara pendapatan dan beban yg berasal kegiatan operasional dengan pendapatan dan beban yg berasal dari kegiatan non operasional.
(a) pendapatan;
(b) biaya keuangan;
(c) bagian laba rugi dari entitas asosiasi dan joint ven-
tures yang dicatat dengan menggunakan metode
ekuitas;
(d) beban pajak;
(e) suatu jumlah tunggal yang mencakup total dari:
(i) laba rugi setelah pajak dari operasi yang
dihentikan; dan
(ii) keuntungan atau kerugian setelah pajak yang
diakui dengan pengukuran nilai wajar dikurangi
biaya untuk menjual atau dari pelepasan aset atau
kelompok yang dilepaskan dalam rangka operasi
yang dihentikan;
(f) laba rugi;
(g) setiap komponen dari pendapatan komprehensif lain
yang diklasifikasikan sesuai dengan sifat (selain
jumlah dalam huruf (h));
(h) bagian pendapatan komprehensif lain dari entitas
asosiasi dan joint ventures yang dicatat dengan
menggunakan metode ekuitas; dan
(i) total laba rugi komprehensif

C. Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan ini menunjukan perubahan ekuitas pemilik selama periode tertentu. Dalam membuat LPE harus mencakup informasi sebagai berikut:
(a) total laba rugi komprehensif selama suatu periode, yang menunjukkan secara terpisah total jumlah yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk dan kepada kepentingan non-pengendali;
(b) untuk tiap komponen ekuitas, pengaruh penerapan retrospektif atau penyajian kembali secara retrospektif yang diakui sesuai dengan PSAK 25;
(c) untuk setiap komponen ekuitas, rekonsiliasi antara jumlah tercatat pada awal dan akhir periode, secara terpisah mengungkapkan masing-masing perubahan yang timbul dari:
(i) laba rugi;
(ii) masing-masing pos pendapatan komprehensif
lain; dan
(iii) transaksi dengan pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, yang menunjukkan secara terpisah kontribusi dari pemilik dan distribusi kepada pemilik dan perubahan hak kepemilikan pada entitas anak yang tidak menyebabkan hilang pengendalian.

Pepajakan Internasional

Perpajakan Internasional

1. Latar Belakang
Pasar dunia terus mengalami perkembangan seiring zaman, peraturan pajak pun kian berubah mengikuti kebutuhan Pemerintah dalam menghimpun Pendapatan negara yang bersumber dari pajak. Segmen tradable di Indonesia merupakan salah satu sektor yang melakukan kegiatan ekspor

Namun, dalam kegiatan ekspor, pemerintah perlu mengawasi dan membuat peraturan-peraturan yang bersifat mengatur agar ekspor terkendali, termasuk peraturan dalam hal perpajakan bagi kegiatan ekspor.

Untuk memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah satu upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.

2. Tujuan 
Tujuan dalam pembuatan tulisan ini adalah :
  a. Prinsip-prinsip apa saja yang harus dipahami dalam perpajakan Internasional?
  b. Masalah-masalah apa saja dalam perpajakan Internasional?
  c.  Apa yang menyebabkan perpajakan berganda pada perdagangan Internasional ?

3. Pembahasan

3.1 Prinsip-Prinsip dalam Perpajakan Internasional
Menurut Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional:
    • Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.
    • Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
    • National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
Tiga unsur netralitas diatas merupakan salah satu prinsip yang harus dipahami dalam perpajakan internasional.
3.2 Masalah Perpajakan Internasional
Masalah yang sering terjadi dalam perpajakan internasional adalah : 
  • Transfer Pricing: Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt Equity Ratio).
  • Treaty Shopping: Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda namun malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak. Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat) dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara yang menandatangani tax treaty.
  • Tax Heaven Countries: Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong, Caymand Island, dll. Saat ini negara tax heaven sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan tax avoidance (penghindaran pajak) di negara-negara tersebut sedang gencar-gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar terkena koreksi UU PPh Pasal 18. Lebih baik berinvestasi pada negara dengan tax treaty.
3.3 Penyebab Pajak Berganda
Perpajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim perpajakan. Hal ini karena adanya prinsip perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
3.4 Upaya mencegah Pajak Berganda
Beberapa upaya dilakukan dalam menanggulangi pajak berganda, antara lain : 
  • Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B): yaitu perjanjian antara 2 negara untuk menghindari pajak berganda untuk memajukan investasi antara 2 negara tersebut. Untuk active income, Biasanya negara sumber hanya berhak memajaki penghasilan dari cabang (BUT) dan penghasilan dari aset tak bergerak yang berhasil dari negara sumber tersebut. Bila ekspor-impor biasa tanpa BUT maka negara sumber tidak bisa memajaki. Penghasilan pegawai hanya boleh dipajaki bila melewati time-test atau dibayar oleh WPDN ataupun BUT. Untuk passive income seperti deviden, bunga dan royalti, kedua negara berhak memajaki namun terdapat pengurangan tarif.
  • Kredit Pajak Luar Negeri: Yaitu jumlah pajak yang dibayarkan di luar negeri dapat dijadikan pengurang pajak penghasilan secara keseluruhan. Di Indonesia diatur dalam UU PPh pasal 24. Dimana kredit pajak luar negeri hanya sebatas: Penghasilan LN/(Semua penghasilan LN dan DN) x PPh terutang untuk semua penghasilan.
4. Kesimpulan

Untuk memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah satu upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional. Beberapa upaya sudah dilakukan oleh beberapa pihak dengan melakukan Tax treaty dan Kredit Pajak Luar Negeri. Cara-cara tersebut adalah beberapa cara untuk menanggulangi adanya Pajak berganda di Perdagangan Internasional.




sumber :
Prof. Gunadi. 2007. Pajak Internasional. LPFEUI

Sabtu, 02 April 2016

Review Jurnal Akuntansi Internasional



Author
Release
Title
Metode
Result
Conclusion
Cuzdriorean Dan Dasia
October 2010
THE RELATIONSHIP BETWEEN ACCOUNTING AND TAXATION: A BRIEF INTERNATIONAL LITERATURE REVIEW
KUallitatif melalui identifikasi database ekonomis (EBSCO, EMERALD dan ILMU DIRECT)
Hubungan antara akuntansi dan pajak menjadi bahasan sejak lama. Pada penulisan ini dijelaskan, bahwa para penulis sebelumnya mengidentifikasi 3 tingkat kepatuhan yang mendefinisikan sistem akuntansi. Tiga tingkatan itu sebagi berikut :
1.       Low level of compliance (tingkat kepatuhan yang rendah)
2.       Moderate level of compliance (tingkat kepatuhan yang moderat)
3.       High level of compliance (tingkat kepatuhan yang tinggi)
4.        
Laporan keuangan merupakan gambaran kinerja suatu perusahaan. Laporan keuangan menghasilkan dua jenis fungsi hasil yaitu hasil Laporan akuntansi itu sendiri dan pajak.
makro-ekonomi, di sisi lain berorientasi pada pengakuan pengaruh aturan pajak. Perusahaan menyusun laporan keuangan, terutama untuk kepentingan kreditur atau negara dalam rangka menentukan hasil terfokus pada tujuan pajak.

Terdapat dua metode penghitungan laba yang berbeda antara akuntansi dan pajak. Laba akuntansi dihitung dengan menerapkan prinsip-prinsip dan aturan akuntansi, sedangkan laba pajak dihitung dengan mempertimbangkan peraturan pajak.

Hoogendoorn (1996) telah mengembangkan taksonomi mengenai hubungan antara akuntansi dan perpajakan di negara-negara Uni Eropa utama. 13 negara yang dipilih sesuai dengan eratnya hubungan dan segala hal yang mempertahankan hubungan antara akuntansi dan perpajakan sangar dipertimbangkan. Taksonomi hubungan antara akuntansi dan pajak menurut Hoongendoom adalah sebagai berikut:


1.       Accounting and taxation are charecterized as being dependent and this relationship is not expected to change. Dalam kasus ini kita tidak menemukan peraturan pajak tangguhan, dan sebagai konsekuensinya disediakan beberapa alternatif diizinkan. Oleh karena itu, kedua account individual dan konsolidasi dipengaruhi oleh peraturan pajak, dan negara-negara yang melakukan hal tersebut adalah Belgia dan Italia .
2.       Accounting and taxation are dependent and this relationship is not expected to change. Ada beberapa peraturan pajak tangguhan dan pengaruh fiskal. Perancis dan Jerman termasuk dalam kategori ini (Jerman juga dapat dimasukkan dalam kategori pertama).
3.       Accounting and taxation are still dependent, but the aim of breaking the relationship between them is desired. Kami tidak menemukan peraturan ketat mengenai perpajakan tangguhan, dan negara-negara seperti Swedia dan Finlandia .
4.       Accounting and taxation are formally independent; dalam praktik hubungan antara mereka mempunyai ciri masing-masing. Kita bisa menemukan ada peraturan perpajakan tangguhan yang ketat, dan negara-negara yang mewakili seperti Polandia dan Republik Ceko .
5.       Accounting and taxation are independent. Peraturan alternatif memungkinkan perpajakan tangguhan, dan sebagai negara perwakilan yaitu Denmark.
6.       Accounting and taxation are independent and there are also specific deferred taxation regulations, negara yang mewakili taksonomi ini antara lain : Irlandia, Inggris, Belanda dan Norwegia.

Menurut Lamb et al. (1998), terdapat lima kriteria (klasifikasi) untuk hubungan antara akuntansi dan perpajakan, hubungan dicirikan dalam hal aturan akuntansi, dan perpajakan, sebagai berikut:

Kasus 1: Disconnection (acounting dan perpajakan memerlukan aturan  untuk tujuan yang berbeda agar fungsinya menjadi terpenuhi. Pemutusan mungkin ketika kita memiliki pajak dan aturan entitas akuntansi,
independen dan detail.

Kasus 2: Identity (identitas ini bisa menjadi identitas de facto atau ketika akuntansi adalah "Lead". Apapun cara yang dilakukan dapat terlihat akuntansi akan mempengaruhi perpajakan.

Kasus 3: Accounting leads (Mungkin ketika aturan akuntansi atau opsi akuntansi yang diadopsi untuk tujuan pelaporan keuangan dan untuk tujuan pajak. Skenario ini dimungkinkan karena kurangnya ketercukupan atau detail dari peraturan pajak khusus.

Kasus 4: Tax leads (ketika aturan fiskal atau pilihan diadopsi untuk tujuan pajak dan tujuan pelaporan keuangan. Skenario ini dimungkinkan karena kurangnya aturan akuntansi khusus yang mencukupi.


Kasus 5: Tax dominates (aturan pajak atau pilihan dikenakan baik untuk pelaporan keuangan dan pajak, yang bertentangan dengan aturan pelaporan keuangan).
Hubungan antara akuntansi dan perpajakan diatur dalam literatur dalam berbagai spektrum atau peraturan yang menungi keduanya antara lain : standar akuntansi, pasar modal, mekanisme tata kelola perusahaan, prosedur akuntansi, dalam hal transversal dan analisis longitudinal, dengan menggunakan analisis analog, pajak dan akuntansi aturan, tujuan masing-masing dari kedua bidang ilmiah, orientasi ekonomi mikro terhadap orientasi makro-ekonomi, tingkat kemandirian yang memiliki gambaran yang akurat temporal dan teritorial, kepatuhan pajak.